Menurut Bahasa.
Lafal “Al Juradah” artinya sesuatu yang dikelupas dari sesuatu yang lain.
Lafal “At-Tajrid” artinya melepaskan pakaian.
Lafal “At-Tajarrud” artinya bertelanjang. Sedang Lafal “Tajarrud lil Amri” artinya bersungguh-sungguh pada suatu urusan.
Menurut Syariat
Menurut
Imam Hasan Al Banna : “Engkau harus tulus pada fikrahmu dan
membersihkannya dari prinsip-prinsip lain serta pengaruh orang lain.
Sebab ia adalah setinggi-tinggi dan selengkap-lengkap fikrah”.
Tajarrud,
menurut Al-Fadhil Ustaz Fathi Yakan di dalam karangannya “Ma Za Ya’ni
Intima’ Lil Islam” : “Tajarrud bermakna saudara mestilah ikhlas terhadap
fikrah yang saudara dukung”.
Menurut
Ust. Mahfuz Sidik : “Adalah totalitas dan kesinambungan amal jihadi
yang kita lakukan sehingga Allah meringankan dakwah ini, dan hingga kita
berjumpa dengan Nya kelak.
KH.Hilmy
Aminudin memaknai tajarrud sebagai ketulusan pengabdian kader dakwah
bukanlah meninggalkan semuanya untuk dakwah tetapi membawa semuanya demi
kejayaan dakwah.
Jadi
secara umum Tajarrud adalah : “ Mengkhususkan diri untuk Allah swt dan
berlepas diri dari segala sesuatu selain Allah. Yakni menjadikan gerak
dan diam serta yang rahasia dan yang terang-terangan untuk Allah swt
semata, tidak tercampuri oleh keinginan jiwa, hawa nafsu, undang-undang,
kedudukan, dan kekuasaan”.
Tajarrud
berarti memfokuskan diri hanya karena Allah, meniadakan orientasi
kepada siapapun dan apapun selain-Nya. Hendaknya gerak dan diam dalam
sembunyi dan terang hanya dilakukan karena Allah, tidak ada intervensi
nafsu, keinginan pribadi, tidak ada motivasi duniawi, kedudukan dan
kekuasaan.
Hal
ini tidak berarti melepaskan diri dari kehidupan dunia dan
keperluannya, bahkan menjadikan dunia sebagai sarana memperoleh balasan
di sisi Allah, sebagaimana hadits Rosululloh saw., yang artinya; ”Dan
pada kemaluan salah seorang di antaramu terdapat sedekah. Para sahabat
bertanya: Ya Rasulallah, seseorang menyalurkan syahwatnya dan dia
mendapatkan pahala? Jawab Nabi: Bukankah jika ia menyalurkan di jalan
haram mendapatkan dosa, maka demikianlah jika ia menyalurkan dengan
halal maka ia mendapatkan pahala” (HR. Muslim). ”Sesungguhnya
tidak satupun yang kamu infakkan karena mengharapkan Allah, pasti kamu
akan mendapatkan pahala, termasuk yang kamu infakkan di mulut isterimu” (HR. Al Bukhari)
Dan Allah SWT., berfirman yang artinya: ”Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
"Sesungguhnya Kami berlepas diri dari pada kamu dari dari pada apa yang
kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah: 4)
Ayat
ini dapat kita pahami muatannya dari beberapa tafsir. Ibrahim as., dan
pengikutnya menyatakan lepas dari kaumnya, dan di dalam kaumnya itu
terdapat ayahnya, saudara-saudaranya dan keluarganya. Mereka melepaskan
hubungan dan menolak agama mereka yang batil, jalan hidup mereka yang
sesat, mulai dari penyemabahan berhala, meyakini adanya sekutu bagi
Allah, dan sebagainya.
Nabi
Ibrahim dan kaumnya menyatakan permusuhan dan kebencian dengan mereka.
Nabi Ibrahim dan kaumnya menyatakan dengan bahasa yang tegas dan jelas
bahwa permusuhan ini bersifat permanen, sehingga mereka mau beriman
kepada Allah saja. Sikap komunitas muslim ini adalah mufashalah
(pemutusan) permanen antara mereka dengan kaum kafir dan musyrik. Sikap
yang menunjukkan tajarrud mereka yang total kepada Allah SWT.
Demikianlah
umat ini–Nabi Ibrahim dan pengikutnya dijadikan sebagai teladan
kebaikan bagi orang beriman meskipun berbeda ruang dan waktu. Mereka
dapat meneladani sikap mulia ini dalam menghadapi jahiliyah di manapun
dan kapan pun mereka berada. Kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan
dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. Al Mumtahanah: 4)
Kemudian
Allah SWT., menerangkan bahwa kelompok kecil orang beriman ketika
meninggalkan kaumnya, berlepas diri dari mereka, segera mengahadapkan
diri kepada Allah SWT., dengan berseru yang artinya: "Ya
Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada
Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali." (QS. Al Mumtahanah: 4)
Ketika hakikat cinta dan benci karena Allah sudah bersemayam dalam jiwa maka hal ini menunjukkan tajarrud yang bersangkutan kepada Allah SWT. Tajarrud
ini juga menunjukan keaslian agama pertama, ketika Allah mengutus
rasul-Nya, menurunkan kitab suci-Nya. Itulah keikhlasan, seperti yang
diterangkan oleh Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dalam ungkapannya :
”Prinsip
ikhlas ini adalah dasar agama, dan seberapa besar realisasinya maka
itulah hakikat agama seseorang. Karenanya Allah mengutus para rasul,
menurunkan kitab-kitab, karenanya pula para rasul, berdakwah, berjihad,
memerintahkan, dan memotovasi, itulah pusat agama yang semua berputar di
atasnya”. Ia juga mengatakan: ”Hati itu jika tidak berpihak menghadap Allah, berpaling dari selain-Nya, maka ia menjadi orang yang mensekutukan (Allah)”. Allah berfirman dalam surat Ar-Rum : 30-32 yang artinya: ”Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak
ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”, ”dengan
kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta
dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah”, ”Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama
mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.
Oleh
karena itu ketika seorang da’i menyeru (mendakwahkan) Islam kepada
manusia, sudah seyogyanya ia menyeru semata-mata hanya demi Allah swt.
bukan untuk kelompok, organisasi atau partai. Ia menginginkan umat
untuk membawa pemikiran dan ide-ide Islam. Kelompok adalah sarana semata
dan bukan tujuan.
Terkadang
ada kekeliruan persepsi mengenai makna totalitas dakwah (tajarrud) ini,
dimana kader dakwah harus meninggalkan semuanya untuk dakwah. Padahal
pengertian yang tepat adalah ketulusan pengabdian kader dakwah untuk
membawa semuanya demi kejayaan dakwah. Misalnya ketika kemampuan dan
kecenderungan seorang kader adalah analysis, synthesis, dan evaluasi
bidang ekonomi, maka kader tsb tidak diminta meninggalkan itu semua dan
masuk fakultas syariah sehingga bisa mengajarkan Islam. Tujuan
sebenarnya adalah bagaimana caranya agar kemampuan dan kecenderungan tsb
dapat dimanfaatkan se-optimal mungkin demi kejayaan dakwah.
Pada
masa Rasulullah SAW, ketika sedang marak-maraknya berbagai pertempuran,
banyak kader yang ingin terjun dalam jihad qital ini, termasuk Zaid bin
Tsabit. Pemuda kecil ini ketika diuji kekuatan fisiknya, gagal,
sehingga ia kecewa sekali. Seolah ia tidak mampu memberikan kontribusi
apa-apa demi kejayaan dakwah Islam. Pada kesempatan test berikutnya, ia
coba lagi. Namun gagal lagi. Pada saat kekecewaannya memuncak,
Rasulullah SAW menganjurkannya untuk mempelajari bahasa. Ternyata
disitulah bakatnya, disitulah competitive advantage-nya sampai ia
diangkat menjadi sekretaris Rasulullah SAW. Disitulah ia menemukan jati
dirinya karena bisa membawa semua kemampuannya demi kejayaan dakwah
meskipun bukan melalui sisi yang populer. Dan masih banyak contoh lagi.
Allah
SWT memuji kaum muhajirin dan kaum anshor dengan kalimat radhi Allahu
‘anhum wa radhu ‘anhu (Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha
kepada Allah) Q 9:100. Inilah puncak dari segala pujian dari Sang
Pencipta kepada hamba-hambanya, ketika Dia meridhai semua yang telah
mereka lakukan.
Apa yang menjadikan Allah SWT ridha kepada mereka? Dalam Q 8:74 Allah menggambarkan karakteristik mereka.
Apa yang menjadikan Allah SWT ridha kepada mereka? Dalam Q 8:74 Allah menggambarkan karakteristik mereka.
“Dan
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah,
dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan
(kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang
benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang
mulia.” Beriman,
berhijrah, berjihad di satu sisi dan memberi tempat kediaman dan
pertolongan di sisi lainnya. Mereka menikmati perjuangan dan pengorbanan
hidup demi kejayaan dakwah Islam. Totalitas dakwah – tajarrud.
Marilah kita hindari jahiliyah yang ada sekarang ini, kita lawan karena Allah. Agar kita dapat tajarrud hanya kepada-Nya. Allah SWT., berfirman yang artinya: ”Karib Kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. AL Mumtahanah: 3).
Sumber:
http://masjidrayacirebon.blogspot.com/2012/06/at-tajarrud.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar